Referensimu.com — Ramadhan, tidak hanya sebagai bulan ritalisasi menahan haus dan lapar, tetapi ternyata luar biasa ritual-ritual dan tradisi-tradisi yang dilakukan di bulan ini. Masa-masa kecil saya menikmati betul diantara ritualisasi dan tradisi itu, mulai dari tradisi dibangunkan sahur oleh petugas keliling kampung biasanya yang bertugas itu anak-anak muda dengan memukul pantongan, sampai pada malam hari ada shalat tarawiah, ratik, tadarus dan setersunya.
Kampung betul-betul hidup pada malam hari, karena kegiatan-kegiatan ritualisasi Ramadhan itu, sehingga kita anak-anak disuruh orang tua untuk tidur siang supaya malam bisa berjaga mengikut kegiatan malam Ramadhan. Kalau kita tidak pergi ke surau malam di Ramadhan itu mak bapak kita marah. Luar biasa rasanya jika datang Ramadhan itu, kita pun sangat bersuka ria menyambutnya malahan ada rasa spesial bagi kita, karena di malam-malam kita bisa keluar ke surau ramai-rmai rasanya gitu lho, masa lalu itu.
Di kampung kami yang pada umumnya penganut Tarikat Syatariah pasti tarawiah+witir 21 rakaat dengan hitungan dua rakat-dua rakaat, kemudian dilakukan tengah malam, paling cepat jam 10 malam, menjelang itu kita tadarusan mengaji bersama-sama melingkar, sambung menyambung dan simak menyimkan, jika salah baca langsung ada yang membetulkan akhirnya selesai satu juz baru kita berhenti. On jus one nigh pada Ramadhan itu sudah sebuah keharusan di tardursan di surau menjelang shalat tarawiah.
Kita anak-anak senang sekali ikut tadarusan itu, kalau dapat habis berbuka shalat maghrib di rumah kita berangkat ke suaru untuk bisa ikut tadarusan, bagi kami yang kecil-kecil masa itu menyenangkan sekali, malahan menjelang Ramadhan bagi kita yang belum pandai mengaji, harus giat-giat belajar supaya lancar dan pandai membaca Al-quran karena di Ramadhan ada tadus yang menyenangkan itu, kaji kita disimak, apalagi di tadurasan itu banyak makanan yang bisa disantap karena para ibu-ibu selalu membawa makanan enak-enak untuk yang ikut tadurasan, ini sangat menyenangkan bagi kami anak-anak ketika itu. Sepertinya tradurusan bagi kami anak-anak seperti melepas selera dengan makanan-makanan bermacam jenisnya. Kami tak ada jajan, tetapi sudah diselesaikan selera dari corak jenis makanan yang terhidang ditadarusan itu.
Selesai tadarus, ada evaluasi kaji pula oleh orang tua-tua yang pandai mengaji, siapa yang pandai mengaji dipuji dan dijadikan motivasi untuk yang lain bisa mengaji. Kadang-kadang dibawa pula mengikuti untuk berkeliling bertadrus dari saurau ke surau, karena pada bulan Ramadhan ada taradus bersama minimal satu kali di masing-masing surau, senangnya hati bisa berkeliling selama Ramadhan tentu bertemu pula dengan makanan-makanan yang lezal dan bisa disantap sepuas-puasnya.
Habis tadarus, langsung shalat Isya berjemaah dan kemudian dilanjutkan dengan shalat Tarawiah dan Witir, waktunya tentu sudah larut malam. Paling cepat dilakukan sekitar jam 22 kadang-kadang lebih dari itu, usai paling cepat jam 1. Sebagai pengikut Tarikat Syatariah walaupun bacaan dan gerakan shalat sangat cepat, kita ikut saja pokoknya kami harus shalat, kita anak-anak diletak dishaf paling belakang tentu ada yang serisu dan ada yang bekerja lain, yang penting tetap dalam shaf. Kami tak mau tidur tetap ikut dalam shaf, semangat atau tidak semangat, karena ada yang kami tunggu sebuah tradisi Ramadhan yang menyita perhatian dan sekaligus menarik.
Apa yang menarik itu, tradisi habis tarwiah ada tahlilan yang dilakukan dengan cara yang unik, jemaah menyabutnya ratik. Mengungkapkan kalimat-kalimat tahlil itu dengan penuh semangat, menggerakan semua tubuhnya dan bersuara lantang dan suaranya sangat keras, konon kabarnya lama-kelamaan tahlilan itu maka kesdaran yang membaca itu hilang kesadarannya dan bergerak kian kemari dengan manggerakan sekujur tubuhnya dengan cara duduk di atas silaannya. Kadang-kadang imam sudah menyatakan selesai bertahlil, tetapi mereka masih bersorak dengan kalimat tahlil itu dan juga bergerak kian kemari, sehingga bagi kami yang anak-anak saat itu menjadi tontonan menarik yang selalu kami tunggu-tunggu. Kemudian besoknya di sekolah menjadi perbincangan yang menarik, kami saling tukar cerita di sekolah tentang siapa yang paling agresif ratiknya.
Jadi Ramadhan itu bagi kami tidak hanya berpuasa, tetapi banyak pernak-pernik yang menarik dan memotivasi kami, sehingga Ramadhan datang kami tunggu-tunggu selalu. Ibadah di malam harinya betul-betul menyejukkan dan menyenangkan kami, karena daya tariknya itu kami mau berlama-lama di surau sampai larut malam. Mungkin ini sulit ditemukan lagi, tapi itulah sepenggal cerita masa lalu yang Ramadhan keindonesiaan yang kaya dengan tradisi dan budaya sendiri. (*)